|
Menu Close Menu

Hampir Tenggelam di Awal Abad 20, Berikut Sejarah Banjir di Bumi Sumekar

Minggu, 18 Mei 2025 | 15.00 WIB

 


Sumenep - Hujan dengan curah tinggi, mewarnai cuaca Sumenep awal pekan ini. Akibatnya, beberapa daerah di Sumenep dikepung oleh air. Tidak hanya di daerah perkotaan, namun juga terjadi di beberapa pedesaan, membuat warga yang terdampak merasa tidak nyaman. 


Tapi yang belum banyak diketahui, secara historis banjir yang terjadi di wilayah Sumenep bahkan beberapa daerah di Madura bukanlah fenomena baru.


Menurut Faiq Nur Fikri, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep, pada akhir abad 19 hingga awal abad 20, kabar banjir yang terjadi di bumi Sumekar kerapkali mengisi halaman media masa.


"Salah satunya dikabarkan koran Bataviasche Handelsblad terbitan tahun 1888, tentang kejadian banjir yang terjadi di Kota Sumenep," ungkapnya kepada Media Center Diskominfo, Rabu (14/5/2025).


Bahkan banjir yang datang waktu itu juga pada putaran kalender yang sama dengan saat ini, yakni bulan Mei. "Akibat kejadian banyak fasilitas umum dan kampung-kampung tergenang, dampaknya banyak penduduk mengungsi ke daerah yang lebih tinggi," tambahnya.


Selang lebih dua dekade, peristiwa sama kembali terjadi pada tahun 1903, dan lagi-lagi di bulan yang sama. Informasinya banjir saat itu diakibatkan meluapnya beberapa sungai utama. Seperti sungai Kebonagung, Sungai Karangpanasan, dan Sungai Baraji. 


"Bahkan luapan sungai Karangpanasan mengakibatkan Kampung Pabian dan Marengan yang merupakan kampung para pembesar Eropa dan Cina bermukim terendam," jelas Ketua Komunitas Sumenep Tempo Dulu ini 


Mungkin karena berulang kali, kejadian itu akhirnya dianggap masalah yang serius oleh pemerintah Kolonial. Sehingga pada tahun 1904, digelontorkanlah dana senilai f.32.210 untuk melakukan pengerukan dua sungai, antara lain Sungai Karangpanasan dan Sungai Kletek yang berada di Desa Kacongan.


Dampaknya, di tahun-tahun setelahnya tak terdengar lagi kampung orang-orang Eropa itu tenggelam oleh air bah.


Tapi tindakan itu, lanjut Faiq, hanya berfokus pada lingkungan tempat mereka bermukim. Dan banjir masih kembali di tempat lain bahkan hampir terjadi merata di seluruh wilayah. 


"Seperti peristiwa tahun 1906 banjir terjadi lagi hampir di sebagian besar wilayah pusat kota, mengakibatkan banyak jembatan dan jalan rusak parah," katanya.


"Yang paling besar sepanjang catatan sejarah, peristiwa banjir pada tahun 1909. Banjir itu menenggelamkan sebagian wilayah di Ambunten," imbuhnya 


Kala itu, banyak rumah-rumah kayu rusak dibawa arus, karena ketinggian airnya mencapai hingga 2 meter lebih. Tak hanya itu, musibah tersebut juga telah mengakibatkan korban jiwa. Istri salah satu pejabat pribumi setempat dikabarkan hanyut terbawa arus. 

Bagikan:

Komentar