MAKASSAR — Ketua Umum Perserikatan Journalist Siber Indonesia (Perjosi), Salim Djati Mamma, melontarkan kritik tajam terhadap Petunjuk Teknis (Juknis) Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun Ajaran 2025/2026 serta proses penetapan sekolah unggulan reguler oleh Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan. Ia menilai terdapat serangkaian kekeliruan mendasar dalam substansi, prosedur administratif, dan legalitas dokumen resmi yang diterbitkan instansi pendidikan tersebut.
Dalam keterangannya kepada wartawan, Minggu (15/6/2025), Salim menyebut terdapat kekeliruan administratif yang krusial dalam penerbitan Juknis SPMB berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Sulsel Nomor: 400.3/2847/DISDIK tanggal 19 Maret 2025. Meski secara subtansi menjadi kewenangan Kadisdik, namun dokumen tersebut ditandatangani secara elektronik oleh Sekretaris Daerah atas nama Gubernur.
“Jika ditandatangani atas nama Gubernur, maka secara hukum keputusan tersebut tidak bisa diubah begitu saja oleh pejabat lebih rendah,” tegas Salim, yang juga pernah menjabat Wakil Ketua PWI Sulsel.
Lebih jauh, Salim menyoroti kekeliruan dalam diktum keempat Juknis SPMB yang mencabut Keputusan Kadisdik Nomor: 188.4/942-Sekret.2/Disdik tentang Juknis PPDB 2023/2024. Padahal seharusnya, menurut kronologi regulasi, yang dicabut adalah Keputusan Nomor 188.4/3484/DISDIK tentang PPDB Tahun Ajaran 2024/2025.
“Ini bukan kesalahan biasa. Ini kesalahan kronologis dan administratif yang menunjukkan lemahnya pengendalian regulasi,” kata adik dari mantan Wakabareskrim Polri ini.
Masalah kian pelik ketika Kepala Dinas Pendidikan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 100.3.4/2059/DISDIK pada 25 April 2025 yang berisi perbaikan kalimat dalam Juknis, SOP, serta penambahan ketentuan. Namun Salim menilai surat tersebut tak memiliki kekuatan hukum mengikat.
“Perubahan terhadap keputusan yang ditandatangani atas nama Gubernur hanya bisa dilakukan oleh pejabat yang setara atau lebih tinggi. Surat edaran dari Kadisdik tidak memenuhi ketentuan formal,” tegasnya.
Persoalan juga muncul dari sistem pembobotan nilai dalam Juknis. Salim menilai formula nilai prestasi yang awalnya berbasis Tes Potensi Akademik (TPA) – dengan bobot berjenjang dari A hingga E – dan kemudian diubah melalui surat edaran menjadi formula “nilai rapor x skor TPA”, tetap menyimpang dari regulasi nasional.
"Permendikbudristek Nomor 3 Tahun 2025 jelas menyebutkan bahwa seleksi harus berbasis nilai rapor atau prestasi akademik, bukan hasil perkalian nilai rapor dan TPA. Ini pelanggaran terhadap prinsip dasar seleksi yang adil," ujarnya lugas.
Kritik juga diarahkan ke Keputusan Kadisdik Sulsel Nomor 188.4/2577/DISDIK tertanggal 2 Mei 2025 yang menetapkan empat sekolah di Makassar — SMAN 1, SMAN 2, SMAN 5, dan SMAN 17 — sebagai sekolah unggulan reguler. Salim menilai penetapan ini sarat cacat prosedural karena tidak melalui mekanisme evaluasi mutu pendidikan oleh lembaga akreditasi atau tim independen.
“Keputusan ini dibuat sepihak, tanpa partisipasi publik, tanpa dasar akademik yang sah, dan sekadar bermodal jargon visi Asta Cita menuju Indonesia Emas 2045. Padahal pendidikan tidak bisa dikelola berdasarkan narasi normatif saja,” kritik wartawan senior yang dikenal kritis dalam isu hukum ini.
Salim juga memperingatkan bahwa jalur masuk ke sekolah unggulan yang hanya dibuka melalui jalur prestasi justru memperlebar ketimpangan.
“Ini bentuk diskriminasi terselubung yang merugikan siswa dari sekolah lain. Akses pendidikan menjadi tidak adil, dan sistem seleksi menjadi tidak merata,” ungkapnya.
Ia menduga bahwa rangkaian kekeliruan ini bukan sekadar kelemahan administratif, tetapi sudah mengarah pada dugaan maladministrasi dan penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan pendidikan daerah.
Salim mendesak Pemerintah Provinsi Sulsel, Ombudsman, dan lembaga pengawas pendidikan untuk segera turun tangan mengevaluasi seluruh proses SPMB dan penetapan sekolah unggulan tahun 2025 ini.
“Jika kekeliruan ini dibiarkan, maka bukan hanya mencederai keadilan pendidikan, tetapi juga merusak kualitas SDM Sulawesi Selatan dalam jangka panjang,” pungkasnya.
Komentar